Bluetooth adalah spesifikasi industri untuk jaringan kawasan pribadi (personal area networks atau PAN) tanpa kabel. Bluetooth menghubungkan dan dapat dipakai untuk melakukan tukar-menukar informasi di antara peralatan-peralatan. Spesifiksi dari peralatan Bluetooth ini dikembangkan dan didistribusikan oleh kelompok Bluetooth Special Interest Group. Bluetooth beroperasi dalam pita frekuensi 2,4 Ghz dengan menggunakan sebuahfrequency hopping traceiver yang mampu menyediakan layanan komunikasi data dan suara secara real time antara host-host bluetooth dengan jarak terbatas.Kelemahan teknologi ini adalah jangkauannya yang pendek dan kemampuan transfer data yang rendah. ASAL NAMABLUETOOTH& LAMBANG
Harald Bluetooth
Nama "bluetooth" berasal dari nama raja di akhir abad sepuluh, Harald Blatand (Abad 10) yang di Inggris juga dijuluki Harald Bluetooth kemungkinan karena memang giginya berwarna gelap. Ia adalah raja Denmark yang telah berhasil menyatukan suku-suku yang sebelumnya berperang, termasuk suku dari wilayah yang sekarang bernama Norwegia dan Swedia. Bahkan wilayah Scaniadi Swedia, tempat teknologi bluetooth ini ditemukan juga termasuk daerah kekuasaannya. Kemampuan raja itu sebagai pemersatu juga mirip dengan teknologi bluetooth sekarang yang bisa menghubungkan berbagai peralatan seperti komputer personal dan telepon genggam.
Sedangkan logo bluetooth berasal dari penyatuan dua huruf Jerman yang analog dengan huruf H dan B (singkatan dari Harald Bluetooth), yaitu (Hagall) dan (Blatand) yang kemudian digabungkan.
SEJARAHBLUETOOTH
Awal mula dari Bluetooth adalah sebagai teknologi komunikasi wireless (tanpa kabel) yang beroperasi dalam pita frekuensi 2,4 GHz unlicensed ISM (Industrial, Scientific and Medical) dengan menggunakan sebuah frequency hopping tranceiver yang mampu menyediakan layanan komunikasi data dan suara secara real-time antara host-host bluetooth dengan jarak jangkauan layanan yang terbatas (sekitar 10 meter). Bluetooth berupa card yang menggunakan frekuensi radio standar IEEE 802.11 dengan jarak layanan yang terbatas dan kemampuan data transfer lebih rendah dari card untuk Wireless Local Area Network (WLAN).
Pembentukan Bluetooth dipromotori oleh 5 perusahaan besar Ericsson, IBM, Intel, Nokia dan Toshiba membentuk sebuah Special Interest Group (SIG) yang meluncurkan proyek ini. Pada bulan Juli 1999 dokumen spesifikasi bluetooth versi 1.0 mulai diluncurkan. Pada bulan Desember 1999 dimulai lagi pembuatan dokumen spesifikasi bluetooth versi 2.0 dengan tambahan 4 promotor baru yaitu 3Com, Lucent Technologies, Microsoft dan Motorola. Saat ini, lebih dari 1800 perusahaan di berbagai bidang bergabung dalam sebuah konsorsium sebagai adopter teknologi bluetooth. Walaupun standar Bluetooth SIG saat ini ‘dimiliki’ oleh grup promotor tetapi ia diharapkan akan menjadi sebuah standar IEEE.
KELEBIHANBLUETOOTH
Bluetooth dapat menembus dinding, kotak, dan berbagai rintangan lain walaupun jarak transmisinya hanya sekitar 30 kaki atau 10 meter
Bluetooth tidak memerlukan kabel ataupun kawat
Bluetooth dapat mensinkronisasi basis data dari telepon genggam ke komputer
Dapat digunakan sebagai perantara modem
KEKURANGANBLUETOOTH
Sistem ini menggunakan frekuensi yang sama dengan gelombang LAN standar
Apabila dalam suatu ruangan terlalu banyak koneksi Bluetooth yang digunakan, akan menyulitkan pengguna untuk menemukan penerima yang diharapkan
Banyak mekanisme keamanan Bluetooth yang harus diperhatikan untuk mencegah kegagalan pengiriman atau penerimaan informasi.
Di Indonesia, sudah banyak beredar virus-virus yang disebarkan melalui bluetooth dari handphone
Dalam bukunya Ighatsatu al-Lafwan, Ibnu Al-Qayyim menyatakan: Niat berarti menyengaja dan bermaksud dengan sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan untuk kepentingan itu tempatnya ada di dalam hati, tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lisan.
Maka setiap orang yang memiliki keinginan kuat untuk melakukan sesuatu, dia telah melakukan niat. Niat untuk shalat berarti menyengaja untuk shalat, menghambakan diri kepada Allah Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati.
Dalam shalat, sebagaimana dengan ibadah lainnya, niat mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena niat inilah yang akan membentuk suatu perbuatan menjadi bernilai ibadah atau tidak.
# Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung kepada niatnya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Ada dua pendapat yang sudah masyur di tengah masyarakat tentang niat, yaitu “niat dengan tidak melafalkannya” (cukup dalam hati) dan “niat dengan melafalkannya”, yaitu dengan menyebutkan nama shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
a) Pendapat Pertama: Tidak Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat tidak perlu dilafalkan, yang terpenting sudah tergetar di dalam hati, sehingga orang yang akan melaksanakan shalat tidak perlu melafalkan niat sebelum takbiratul ihram, seperti lafal “Ushalli fardhal maghribi tsalasa raka’atin mustaqbilal Qiblati adaan makmuman lillahi ta’ala” dan niat shalat lainnya yang sudah masyur di masyarakat.
# Dari Aisyah radhiyallahu anha:
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan takbir.” (HR. Muslim)
# Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata,
“Apakah orang shalat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.” (Masaail al-Imam Ahmad dan Majmuu’ al Fataawaa).
# As-Suyuthi berkata,
“Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat shalat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafalkan niat shalat sedikitpun selain hanya lafal takbir.”
# Asy-Syafi’i berkata,
“Was-was dalam niat shalat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.” (Lihat al-Amr bi al-Itbaa’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtidaa’).
# Menurut Syaikh Ali Mahfudzh,
“Diantara bid’ah-bid’ah dalam shalat adalah, melafalkan niat dengan keras.”
# Ibnu Al-Haj dalam kitab Al-Madkal mengatakan,
“Baik imam atau makmum, tidak boleh mengeraskan bacaan niat. Mengingat tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah, khulafaur rasyidin atau para sahabat radhiyallahu anhum melafalkannya dengan keras. Jadi mengucapkan niat termasuk bid’ah.” (Al-Ibda’ fi Madharri Al-Ibtida’)
# Syaikh bin Baz dalam fatwanya mengatakan,
“Melafalkan niat afalah bid’ah dan mengeraskan dalam melafalkannya lebih besar dosanya.” Yang disunnahkan adalah, membaca niat dalam hati, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apapun yang tersembunyi. Dialah Allah, yang berfirman, “Katakanlah, apakah kalian memberitahukan Allah tentang perkara agamamu, sedangkan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi?”
Tidak ditemukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang sahabat, dan seorang tabi’in pun yang melafalkan niat shalat. Dengan demikian, dapat kita simpulkan berdasarkan fakta ini, bahwa melafalkan niat tidak dianjurkan. Bahwa ini tergolong perbuatan bid’ah yang diada-adakan. Wallahu waliyyut taufiq.” (Fatawa Islamiyah li Majmu’ah min Al-‘Ulama, I/383)
# Menurut Ibnu Qudamah,
“Niat artinya maksud atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Letaknya di dalam hati, tidak ada sangkut pautnya dengan lisan sama sekali. Karena itu tidak pernah didapati dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat-sahabat beliau, satu pun lafal niat. Demikian pula, kami tidak pernah mendengar para sahabat menyebutkannya. Ungkapan-ungkapan yang dibaca saat bersuci atau ketika hendak memulai shalat, dijadikan momentum bagi setan untuk memunculkan was-was bagi yang melakukannya. Dalam kondisi yang demikian, setan mengungkungi, menyiksa dan membuat mereka tenggelam dalam keraguan, benar tidaknya lafal niat yang dibaca. Maka dari itu, kita sering melihat orang susah payah mengulang-ulang lafal niat berkali-kali. Padahal pengucapan niat tidak termasuk dalam bagian shalat, baik rukun maupun syaratnya.”
# Menurut Ibnu Qayyim,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak menunaikan shalat, beliau membaca takbir (Allahu Akbar), dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum takbir dan tidak pula melafalkan niat…
Tidak ada satu pun riwayat hadits, baik yang shahih maupun yang dhaif, yang musnad maupun yang mursal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat dalam shalatnya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat dan tabi’in pun yang melafalkan niat shalat dalam shalat mereka. Begitu pula imam yang empat. Hanya saja, ada beberapa pengikut madzhab Syafi’i yang tergolong kelompok yang kesekian / muta’akhirin, terkecoh oleh ucapan Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, “Shalat tidak sama dengan puasa. Tidak seorangpun melakukannya kecuali dengan dzikir.” Mereka mengira, bahwa dzikir yang dikatakan Asy-Syafi’i adalah ucapan niat ketika hendak shalat. Padahal, dzikir yang dimaksudkan Imam Asy-Syafi’i adalah ucapan takbiratul ihram bukan lainnya. Bagaimana mungkin Asy-Syafi’i menganjurkan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan oleh khulafaur rasyidin atau para sahabat dalam shalat mereka…”
b) Pendapat Kedua: Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat dilafalkan dengan kalimat tertentu sebelum mengucapkan takbir, yaitu dengan menyebutkan nama shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Cara ini berkembang luas di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, terutama di Indonesia, walaupun Iman Syafi’i sendiri tidak berpendapat demikian.
# “Esssensi niat bukanlah terletak pada pelafalannya sebelum takbir itu sendiri, namun dimaksudkan untuk mengantar hati supaya ketika melakukan takbir, niat yang ada dalam hati sudah benar (memantapkan niat yang sudah ada dalam hati-pen.). Seringkali kita melakukan kesalahan ingatan, misalnya kita ingin melakukan shalat Dzuhur, tetapi getar hati mengatakan shalat Ashar. Jelas niat demikian menyebabkan shalat tidah sah. Lain persoalannya, kalau seseorang salah melafalkan niat, tetapi dalam hatinya yang dimaksudkan adalah shalat tertentu; misalnya seseorang melafalkan niat shalat Ashar padahal yang dimaksud hatinya adalah shalat Dzuhur, maka shalatnya tetap sah.” (Lihat Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-ahyar fi hilli ghayat al-ikhtisar [Daru ahyai ak-kutub al-Arabiyah: Indonesia, tth.] Juz 1, hlm. 102)