Yang bisa menetapkan status sebuah hadits bukanlah kita yang awam ini, melainkan para ulama hadits. Mereka saja yang punya kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil naqd mereka.
Menetapkan status suatu hadits dikenal dengan istilah al-hukmu ‘alal hadits. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadits . Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadits.
Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan haditsnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.
Keshahihan suatu hadits akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para shahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling akhir atau paling bawah.
Nama para perawi paling akhir itu adalahyang sering kita dengar sebagai hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan ukuran bukan semata-mata para perawi di level paling bawah atau paling akhir saja. Melainkan keadaan para perawi dari level paling atas hingga paling bawah dijadikan objek penelitian. Khususnya pada level di bawah para shahabat. Sebab para ulama sepakat bahwa para shahabat itu seluruhnya orang yang ‘adil dan tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.
Satu persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-’adalah dan kriteria
adh-dhabth.
a. Kriteria
al-’adalah
Kriteria pertama adalah masalah ‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketaqwaan, keIslaman, akhlaq, ke-wara’-an, kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran Islam. Kriteria ini penting sekali, sebab ternyata kebanyakan hadits palsu itu lahir dari mereka yang kualitas pengamalan keIslamannya kurang.
Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu hadits demi menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan kedudukan. Atau untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang bermasalah dari segi al-’adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar black-list bila ketahuan pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan aqidah, akhlaq dan etika Islam.
Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin imu khusus yang disebut ilmu al-jarhu wa at-ta’dil. Ilmu ini mengkhususkan diri pada database catatan hitam seseorang yang memiliki cacat atau kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat mendapatkan julukan khas dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah akzabun nass , fulan kazzab , si fulan matruk dan sebagainya.
b. Krieria adh-dhabth
Kriteria adh-dhabth adalah penilaian dari sisi kemampuan seorang perawi dalam menjaga originalitas hadits yang diriwayatkanya. Misalnya, adakah dia mampu menghafal dengan baik hadits yang dimilikinya. Atau punyakah catatan yang rapi dan teratur. Sebab boleh jadi seorang perawi memiliki hafalan yang banyak, akan tetapi tidak dhabith atau tidak teratur, bahkan boleh jadi acak-acakan bercampur baur antara rangkaian perawi suatu hadits dengan rangkaian perawi hadits lainnya.
Biasanya dari sisi adh-dhabth ini para perawi memang orang yang shaleh. Tetapi kalau hafalan atau database periwayatan haditsnya acak-acakan, maka dia dikatakan tidak dhaabith. Cacat ini membuatnya menempati posisi lemah dalam daftar para perawi hadits. Hadits yang diriwayatkan lewat dirinya bisa saja dinilai dha’if atau lemah.
Kebutuhan pada Ensiklopedi Hadits Lengkap
Untuk mendapatkan kumpulan hadits yang shahih, kita bisa membuka kitab yang disusun oleh para ulama. Di antara yang terkenal adalah kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Al-Imam Al-Buhkari dan kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Akan tetapi bukan berarti semua haditsmenjadi tidak shahih bila tidak terdapat di dalam kedua kitab ini.
Sesungguhnya, kedua kitab ini hanya menghimpun sebagian kecil dari hadits-hadits yang shahih. Di luar kedua kitab ini, masih banyak lagi hadits yang shahih.
Keberadaan kedua kitab itu meski sudah banyak bermanfaat, namun masih diperlukan kerja keras para ulama untuk mengumpulkan semua hadits yang ada di muka bumi, lalu satu per satu diteliti para perawinya. Dan seluruhnya disusun di dalam suatu database. Sehingga setiap kali kita menemukan suatu hadits, kita bisa lakukan searching, lalu tampil matan-nya beserta para perawinya dengan lengkap mulai dari level shahabat hingga level terakhir, sekaligus juga catatan rekord tiap perawi itu secara legkap sebagaimana yang sudah ditulis oleh para ulama.
Yang sudah ada sekarang ini baru program sebatas hadits-hadits yang ada di dalam 9 kitab saja, yang dikenal dengan kutubus-sittah. Program ini sudah lumayan membantu, karena bisa dikemas dalam satu keping CD saja. Bahkan Kementerian Agama, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Saudi Arabia membuka situs yang memuat database kesembian kitab hadits ini, sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja di seluruh dunia secara gratis.
http://hadith.al-Islam.com
Sayangnya, hadits-hadits yang ada di program ini masih terbatas pada 9 kitab hadits saja, meski sudah dilengkapi dengan kitab-kitab penjelasnya . Padahal ada begitu banyak hadits yang belum tercantum di dalam kutubus-sittah. Lagi pula program itu pun belum dilengkapi dengan al-hukmu ‘alal hadits. Baru sekedar membuat database hadits yang terdapat di 9 kitab itu. Dan meski setiap hadits itu sudah dilengkapi nama-nama perawinya, namun belum ada hasil penelitian atas status para perawi itu. Jadi hadits-hadits itu masih boleh dibilang mentah.
Proyek ini cukup besar untuk bisa dikerjakan oleh perorangan. Harus ada kumpulan team yang terdiri dari ribuan ulama hadits dengan spesifikasi ekspert. Mereka harus bekerja full-time untuk jumlah jam kerja yang juga besar. Tentu saja masalah yang paling besar adalah anggaran.
Sampai hari ini, sudah ada beberapa lembaga yang merintisnya. Para ulama di Al-Azhar Mesir, para ulama di Kuwait, para ulama di Saudi dan di beberapa tempat lain, masing-masing sudah mulai mengerjakan. Sayangnya hasilnya belum juga nampak. Barangkali karena mereka bekerja sendiri-sendiri dan tidak melakukan sinergi. Padahal kalau semua potensi itu disatukan dalam sebuah managemen profesioal, insya Allah kita bisa menyumbangkan sesuatu yang berharga di abad 15 hijriyah ini.
Hitung-hitung sebagai kado untuk kebangkitan Islam yang sudah sejak lama didengung-dengungkan itu. Sebuah warisan pekerjaan dari generasi lampau untuk kita demi mencapai
masterpiece.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar